Thursday 9 June 2016

Risiko Ketidakcocokan Rhesus Janin




FAKTOR rhesus sangat penting diperhatikan dalam kehamilan. Ada beberapa risiko yang seharusnya bisa dicegah akibat (ketidakcocokan) rhesus antara ibu dan janin. Teramat penting untuk mengetahui jenis rhesus kita, terutama perempuan.
Perempuan dengan rhesus negatif yang bersuami rhesus positif akan memiliki kemungkinan mengandung janin dengan rhesus positif. Ketidakcocokan rhesus antara ibu dan bayi bisa menjadi faktor risiko yang membahayakan bayi.
“Tubuh ibu yang mempunyai rhesus negatif akan menganggap janin sebagai ‘benda asing’ dan bakal melawan,” jelas dokter Erva Anggriana.
Terdapat kemungkinan darah janin yang mengandung rhesus positif memasuki sirkulasi darah ibu yang memiliki rhesus negatif. Hal tersebut bisa memicu terbentuknya antibodi dalam tubuh ibu untuk melindungi tubuh sekaligus melawan janin.
Antibodi tersebut kemudian mengalir ke sirkulasi darah janin dan menghancurkan sel darah merah janin (hemolitik). Kondisi itu dapat mengakibatkan kematian janin dalam rahim. Atau, janin yang lahir akan menderita pembengkakan hati, anemia, kuning (jaundice), dan gagal jantung.
Namun, tidak berarti kehamilan perempuan dengan rhesus negatif pasti bermasalah. Selama ini kerap muncul persepsi yang keliru mengenai rhesus negatif.
Intinya, setiap kehamilan memiliki faktor risiko. Pada perempuan dengan rhesus negatif, diperlukan perencanaan dan persiapan khusus. Salah satunya, cek titer antibodi anti Rh (d) pada usia kehamilan 12 minggu atau yang disebut coombs test. Jika hasilnya negatif, darah ibu dengan Rh- tersebut aman bagi janin dengan Rh+.
Namun, apabila dari hasil tes ditemukan adanya titer antibodi dan angkanya tinggi, segera konsultasikan dengan dokter ahli darah maupun kandungan untuk mendapat pengawasan terhadap tumbuh kembang janin.
“Dokter akan memberikan suntikan anti Rh (d) immunoglobulins pada minggu ke-28 usia kehamilan dan maksimal dalam 72 jam setelah melahirkan,” paparnya.
Perbedaan rhesus antara ibu dan janin biasanya tidak terlalu berisiko pada kehamilan pertama. Sebab, kemungkinan terbentuknya zat antirhesus atau antibodi pada kelahiran pertama sangat kecil.

“Kalaupun ada, jumlahnya tidak banyak sehingga anak pertama bisa lahir dengan sehat,” tuturnya.
Pembentukan zat antirhesus biasanya baru terjadi pada proses persalinan (atau keguguran) kehamilan pertama. Saat plasenta lepas, pembuluh darah yang menghubungkan dinding rahim dengan plasenta juga putus.
“Sel-sel darah merah bayi dapat masuk ke dalam dengan jumlah yang lebih besar,” ujarnya.
Setelah itu, 48-72 jam setelah persalinan, tubuh ibu kembali memproduksi zat antibodi atau antirhesus dalam jumlah yang lebih banyak. Ketika kemudian ibu hamil untuk kali kedua, zat antibodi tersebut bakal menyerang sel darah merah janin.
Kondisi itu akan semakin berbahaya apabila kadar antibodi sangat tinggi. Tumbuh kembang janin harus dipantau dengan ketat, apakah terindikasi adanya masalah pada pernapasan dan peredaran darah, cairan paru-paru, atau pembesaran hati.
Dokter bisa memutuskan untuk melakukan persalinan dini ketika usia janin sudah cukup kuat untuk dilahirkan. Karena itu, sebagai tindakan pencegahan, pada kehamilan kedua, sang ibu diberi suntikan anti Rh (d) immunoglobulins pada usia kehamilan minggu ke-28.
Apabila fondasi sudah baik dan kehamilan terus dipantau dengan cermat, janin akan baik-baik saja hingga lahir.(*/rio/asa)


No comments:

Post a Comment