Tuesday, 20 January 2015

Pengaruh Televisi ke Minat Baca



Minat baca di Indonesia memang sangat memprihatinkan. Salah satu faktornya adalah anak lebih memilih bersantai sambil emnonton televisi. Televisi yang pertama kali diciptakan seorang insinyur berkebangsaan Inggris, John Logie Baird, yang terbentuk dari kayu dan kardus, merupakan sebuah kotak ajaib yang saat ini banyak digilai oleh semua kalangan. Baik pelaku bisnis, maupun penonton yang menikmatinya.
Televisi merupakan produk inovasi teknologi yang saat ini telah masuk sebagai bagian dari globalisasi. Fungsi penyampaian informasi pada awalnya telah bergeser menjadi fungsi-fungsi lain yang lebih kompleks, seperti halnya fungsi hiburan, dan sebagainya.
Dengan perkembangan waktu yang selalu dinamis, produsen industri televisi semakin meningkatkan kapasitas inovasinya demi kompetisi merebut hati pemirsa. Dengan latar belakang itulah, banyak dibuat program-program yang diprediksikan menarik untuk menjaring pasar konsumen yang lebih banyak. Muaranya jelas pada orientasi profit, sebagai penunjang utama keberlangsungan industri televisi. Hal ini menyebabkan produsen televisi dengan gencar menciptakan acara-acara menarik, menghibur, dengan mengesampingkan dampak positif atau negatif jangka panjang masyarakat konsumennya.
Fungsi hiburan tampaknya digali lebih dalam lagi oleh para produsen TV dan menghasilkan program-program yang menurut sebagian besar para pakar pertelevisian, pemerhati media, maupun masyarakat dengan tingkatan pendidikan yang cukup, boleh dikatakan instan, pragmatis, atau semacamnya. Dunia fantasi yang jauh dari realita sehari-hari banyak dimunculkan untuk memanjakan harapan-harapan masyarakat yang sebagian besar masih tergolong marjinal.
Anak-anak merupakan pangsa pasar potensial untuk semua produk, termasuk televisi. Usia anak-anak merupakan usia yang memungkinkan mereka menjadi imitasi dari apa yang dilihat, didengar, dan dirasakannya. Anak-anak akan dengan mudah menerima tayangan televisi dan bahkan ’melahapnya’ tanpa proses ’mengunyah’
Dalam ilmu psikologi, anak usia 9-10 tahun belum mampu membedakan antara kenyataan dengan fantasi. Akibat rangsangan televisi, anak akan dibenturkan pada banyak hal, seperti tayangan amoral, apalagi bila itu diperkuat dengan realitas sosial yang ia lihat di lingkungannya sehari-hari. Bisa jadi, apa yang ia lihat di TV merupakan tindakan yang benar menurutnya.
Memang tidak selamanya televisi memberikan dampak negatif, tetapi selama konsumen, terutama anak-anak, tidak memiliki bekal pengetahuan yang cukup untuk memilah-milah mana yang baik dan mana yang tidak, maka efek negatif akan terlihat cukup dominan. Tak heran bila anak-anak Indonesia tumbuh dengan nilai-nilai dan pengetahuan yang banyak didapat dari nilai TV. Hasil studi Dr. Jay Martin dari Universitas Southern, California menunjukkan fakta yang memiriskan hati. Dari hasil penelitiannya terhadap 732 anak selama beberapa tahun, anak yang menonton TV terpacu untuk berbuat kasar terhadap orang tuanya, berkelahi sesama anak, dan kejahatan remaja.
Dari sini, bisa dilihat bahwa televisi menjelma menjadi pembentuk pengetahuan, sikap, dan nilai. Televisi yang penuh warna dan gerak memang sangat menarik perhatian anak-anak, sehingga hal ini memungkinkan bagi mereka untuk menjadikan aktivitas menonton televisi sebagai rutinitas sehari-hari, terlebih bila orang tua mereka disibukkan dengan rutinitasnya masing-masing. Sehingga, peran orang tua untuk mendampingi anak-anaknya menonton TV menjadi penting.
Pangsa pasar televisi yang juga dipandang potensial selain anak-anak adalah remaja. Mengapa ? Menurut Narsbitt dan Aburdene dalam Armando, kalangan muda adalah kalangan yang memang dipandang sebagai motor utama terbentuknya budaya global.
Budaya global disini menyangkut istilah kapitalisme. Seperti yang telah diungkapkan sebelumnya, apapun produk inovasi pasti akan berujung pada orientasi profit. Program-program menarik dibuat sedemikian rupa, tidak lain juga untuk menarik iklan-iklan masuk. Dengan kata lain, iklan diandalkan sebagai sumber dana utama kehidupan industri pertelevisian.
Korelasinya dengan remaja, melalui iklan, perlahan-lahan dibentuklah jiwa konsumerisme dalam diri remaja kita. Hal ini merupakan efek yang boleh dibilang negatif bila dipelihara dan dijadikan sebagai gaya hidup.
Selain itu, remaja ABG (Anak Baru Gede) pada usia 14-15 tahun, masih memiliki kecenderungan perilaku yang tidak menentu. Setelah melewati proses meniru, mengidentifikasi, dan mengembangkan perilaku pada usia sebelumnya, pengaruh yang diterimanya sejak kecil lambat laun tertanam sedikit demi sedikit.
Selain efek membentuk budaya konsumerisme yang menggila di kalangan remaja, efek dari nilai-nilai yang terkandung dalam tayangan remaja saat ini bisa dibilang penuh dengan kesemrawutan global.
Serial-serial TV yang banyak mengisahkan gaya hidup remaja metropolitan banyak mengandung unsur kekerasan (baik kata-kata maupun perilaku), nilai-nilai anti pendidikan, penyimpangan pola asuh, pendewaan materi, bahasan seks yang vulgar, dan masih banyak lagi. Bahkan, pengaruhnya juga sampai pada merusak empati remaja, karena berbagai tayangan memaksanya menjadi orang lain di luar dirinya. Sehingga, mereka pun menjadi lentur, tidak memiliki pengalaman empiris untuk meletakkan empati sosialnya.
Secara psikologis, masa remaja merupakan fase pertengahan yang banyak didominir proses pencarian jati diri. Emosi remaja yang meluap-luap, ekspresif, dan labil sangat rentan terpengaruh faktor eksternal.
Nampaknya, budaya komunal yang sarat dengan nilai-nilai solidaritas dalam lingkungan pergaulan remaja juga menjadi alasan seorang remaja melakukan dan memilih aktivitasnya, termasuk menonton televisi. Apalagi bila tayangan televisi yang ditontonnya juga menjadi tren di lingkungan pergaulannya.
Kekuatan televisi sebagai media elektronik yang mengedepankan efek audio visual menjadi magnet tersendiri bagi masyarakat kita untuk menjadikan TV sebagai media kesayangan. Audio visual mampu menangkap mata orang yang melihatnya dan seakan-akan menghipnotis orang tersebut untuk tidak mengalihkan pandangannya sedikitpun.
Sifat-sifat televisi yang menyampaikan pesan secara sederhana atau sebagai transistor, menggunakan bahasa simbol yang mudah dipahami, menggunakan idiom gambar, membuat pemirsa berinteraksi satu arah dan cenderung pasif. Dan bila dilanjutkan lebih jauh, hal ini akan membuat pemirsa secara universal menjadi kurang kritis, kurang kreativitas imajinatif, dan memiliki perkembangan kognitif yang rendah. Ini masih dampak dari TV dilihat dari sifat-sifat penyampaiannya, belum pada efek tayangan-tayangannya.
Efek tayangan TV bisa jadi beragam. Terdapat pula pro kontra terhadap televisi. Pendapat yang pro mengatakan bahwa TV dapat : 1) Mempercepat penyebaran informasi, 2) Meningkatkan industri musik dan hiburan (production house), 3) Memperluas wawasan yang tidak bisa diperoleh dari lingkungan sekitarnya, dan 4) Memotivasi memperoleh pengetahuan. Sedangkan pendapat yang kontra mengatakan bahwa TV dapat berdampak negatif dengan penayangan kekerasan, muatan seks yang berlebihan, buaian iklan yang membentuk jiwa konsumtif, penciptaan stereotipe tokoh yang ditayangkan, timbul ketakutan dan kerisauan, dan lain-lain.
Penelitian Greenberg menyatakan bahwa ada empat alasan tertinggi mengapa masyarakat melihat TV, yaitu : 1) Mengisi waktu luang, 2) Melupakan kesulitan, 3) Santai, 4) Sekadar kebiasaan. Selain itu, tampaknya budaya lisan yang mengakar dalam tradisi bangsa ini juga mempunyai andil besar dalam mempengaruhi masyarakat untuk lebih memilih media TV daripada media cetak seperti buku.
Buku yang kaya akan kosa kata dan menggunakan hanya media visual diinterpretasi sebagai hal yang kurang menarik sejak masa kanak-kanak. Berbicara mengenai minat baca, tentu saja harus dirunut sejak awal, yaitu sejak usia anak-anak. Dan tentunya peran orang tua sebagai pemegang kendali pengasuhan dan pembinaan dalam rumah menjadi sangat dominan.
Karena sifatnya yang visual dan tidak bergerak, buku dapat menciptakan interaksi yang lebih hidup dalam alam pikiran pembaca. Pembaca diajak untuk aktif melalui berpikir, dan hal ini akan mencetak individu yang kreatif, kritis, dan evaluatif. Memang secara tampilan, bahan bacaan semisal buku tidak semenarik televisi, namun efeknya, membaca merupakan gerbang menuju kekayaan imajinasi, karena kemampuan memvisualisasikan kemungkinan-kemungkinan berdasarkan kenyataan. Ini berhubungan juga dengan sisi kreatif. Sedangkan sisi kritis dan evaluatif muncul saat seseorang membaca kisah-kisah dalam buku, imajinasinya akan digunakan untuk mengevaluasi efektivitas sebuah rencana dengan membayangkan hasil akhir yang mungkin.
Minat baca anak menjadi terkikis. Anak akan merasa memiliki dunianya sendiri dengan menonton TV, seakan-akan ia tidak memerlukan orang lain, dan sulit mengungkapkan apa yang ada dalam pikirannya. Hal ini karena sel-sel otaknya tidak terbiasa untuk berpikir kritis seperti halnya membaca buku.
Selain itu, anak juga merasa memiliki kebebasannya melalui TV. Sebab, porsi tayangan TV tidak menyebutkan garis-garis yang jelas antara segmen tontonan anak dan orang dewasa. Terlebih, TV tidak pernah mensosialisasikan budaya baca sebagai budaya yang juga perlu dikembangkan, semisal promosi buku melalui TV. (idb/mel)

No comments:

Post a Comment