Minat
baca di Indonesia memang sangat memprihatinkan. Salah satu faktornya adalah
anak lebih memilih bersantai sambil emnonton televisi. Televisi yang pertama
kali diciptakan seorang insinyur berkebangsaan Inggris, John Logie Baird, yang
terbentuk dari kayu dan kardus, merupakan sebuah kotak ajaib yang saat ini
banyak digilai oleh semua kalangan. Baik pelaku bisnis, maupun penonton yang
menikmatinya.
Televisi
merupakan produk inovasi teknologi yang saat ini telah masuk sebagai bagian
dari globalisasi. Fungsi penyampaian informasi pada awalnya telah bergeser
menjadi fungsi-fungsi lain yang lebih kompleks, seperti halnya fungsi hiburan,
dan sebagainya.
Dengan
perkembangan waktu yang selalu dinamis, produsen industri televisi semakin
meningkatkan kapasitas inovasinya demi kompetisi merebut hati pemirsa. Dengan
latar belakang itulah, banyak dibuat program-program yang diprediksikan menarik
untuk menjaring pasar konsumen yang lebih banyak. Muaranya jelas pada orientasi
profit, sebagai penunjang utama keberlangsungan industri televisi. Hal ini
menyebabkan produsen televisi dengan gencar menciptakan acara-acara menarik,
menghibur, dengan mengesampingkan dampak positif atau negatif jangka panjang
masyarakat konsumennya.
Fungsi
hiburan tampaknya digali lebih dalam lagi oleh para produsen TV dan
menghasilkan program-program yang menurut sebagian besar para pakar pertelevisian,
pemerhati media, maupun masyarakat dengan tingkatan pendidikan yang cukup,
boleh dikatakan instan, pragmatis, atau semacamnya. Dunia fantasi yang jauh
dari realita sehari-hari banyak dimunculkan untuk memanjakan harapan-harapan
masyarakat yang sebagian besar masih tergolong marjinal.
Anak-anak
merupakan pangsa pasar potensial untuk semua produk, termasuk televisi. Usia
anak-anak merupakan usia yang memungkinkan mereka menjadi imitasi dari apa yang
dilihat, didengar, dan dirasakannya. Anak-anak akan dengan mudah menerima
tayangan televisi dan bahkan ’melahapnya’ tanpa proses ’mengunyah’
Dalam
ilmu psikologi, anak usia 9-10 tahun belum mampu membedakan antara kenyataan
dengan fantasi. Akibat rangsangan televisi, anak akan dibenturkan pada banyak
hal, seperti tayangan amoral, apalagi bila itu diperkuat dengan realitas sosial
yang ia lihat di lingkungannya sehari-hari. Bisa jadi, apa yang ia lihat di TV
merupakan tindakan yang benar menurutnya.
Memang
tidak selamanya televisi memberikan dampak negatif, tetapi selama konsumen,
terutama anak-anak, tidak memiliki bekal pengetahuan yang cukup untuk
memilah-milah mana yang baik dan mana yang tidak, maka efek negatif akan
terlihat cukup dominan. Tak heran bila anak-anak Indonesia tumbuh dengan
nilai-nilai dan pengetahuan yang banyak didapat dari nilai TV. Hasil studi Dr.
Jay Martin dari Universitas Southern, California menunjukkan fakta yang
memiriskan hati. Dari hasil penelitiannya terhadap 732 anak selama beberapa
tahun, anak yang menonton TV terpacu untuk berbuat kasar terhadap orang tuanya,
berkelahi sesama anak, dan kejahatan remaja.
Dari
sini, bisa dilihat bahwa televisi menjelma menjadi pembentuk pengetahuan,
sikap, dan nilai. Televisi yang penuh warna dan gerak memang sangat menarik
perhatian anak-anak, sehingga hal ini memungkinkan bagi mereka untuk menjadikan
aktivitas menonton televisi sebagai rutinitas sehari-hari, terlebih bila orang
tua mereka disibukkan dengan rutinitasnya masing-masing. Sehingga, peran orang
tua untuk mendampingi anak-anaknya menonton TV menjadi penting.
Pangsa
pasar televisi yang juga dipandang potensial selain anak-anak adalah remaja.
Mengapa ? Menurut Narsbitt dan Aburdene dalam Armando, kalangan muda adalah
kalangan yang memang dipandang sebagai motor utama terbentuknya budaya global.
Budaya
global disini menyangkut istilah kapitalisme. Seperti yang telah diungkapkan
sebelumnya, apapun produk inovasi pasti akan berujung pada orientasi profit.
Program-program menarik dibuat sedemikian rupa, tidak lain juga untuk menarik
iklan-iklan masuk. Dengan kata lain, iklan diandalkan sebagai sumber dana utama
kehidupan industri pertelevisian.
Korelasinya
dengan remaja, melalui iklan, perlahan-lahan dibentuklah jiwa konsumerisme
dalam diri remaja kita. Hal ini merupakan efek yang boleh dibilang negatif bila
dipelihara dan dijadikan sebagai gaya hidup.
Selain
itu, remaja ABG (Anak Baru Gede) pada usia 14-15 tahun, masih memiliki
kecenderungan perilaku yang tidak menentu. Setelah melewati proses meniru,
mengidentifikasi, dan mengembangkan perilaku pada usia sebelumnya, pengaruh
yang diterimanya sejak kecil lambat laun tertanam sedikit demi sedikit.
Selain
efek membentuk budaya konsumerisme yang menggila di kalangan remaja, efek dari
nilai-nilai yang terkandung dalam tayangan remaja saat ini bisa dibilang penuh
dengan kesemrawutan global.
Serial-serial
TV yang banyak mengisahkan gaya hidup remaja metropolitan banyak mengandung
unsur kekerasan (baik kata-kata maupun perilaku), nilai-nilai anti pendidikan,
penyimpangan pola asuh, pendewaan materi, bahasan seks yang vulgar, dan masih
banyak lagi. Bahkan, pengaruhnya juga sampai pada merusak empati remaja, karena
berbagai tayangan memaksanya menjadi orang lain di luar dirinya. Sehingga,
mereka pun menjadi lentur, tidak memiliki pengalaman empiris untuk meletakkan
empati sosialnya.
Secara
psikologis, masa remaja merupakan fase pertengahan yang banyak didominir proses
pencarian jati diri. Emosi remaja yang meluap-luap, ekspresif, dan labil sangat
rentan terpengaruh faktor eksternal.
Nampaknya,
budaya komunal yang sarat dengan nilai-nilai solidaritas dalam lingkungan
pergaulan remaja juga menjadi alasan seorang remaja melakukan dan memilih
aktivitasnya, termasuk menonton televisi. Apalagi bila tayangan televisi yang
ditontonnya juga menjadi tren di lingkungan pergaulannya.
Kekuatan
televisi sebagai media elektronik yang mengedepankan efek audio visual menjadi
magnet tersendiri bagi masyarakat kita untuk menjadikan TV sebagai media
kesayangan. Audio visual mampu menangkap mata orang yang melihatnya dan seakan-akan
menghipnotis orang tersebut untuk tidak mengalihkan pandangannya sedikitpun.
Sifat-sifat
televisi yang menyampaikan pesan secara sederhana atau sebagai transistor,
menggunakan bahasa simbol yang mudah dipahami, menggunakan idiom gambar,
membuat pemirsa berinteraksi satu arah dan cenderung pasif. Dan bila
dilanjutkan lebih jauh, hal ini akan membuat pemirsa secara universal menjadi
kurang kritis, kurang kreativitas imajinatif, dan memiliki perkembangan
kognitif yang rendah. Ini masih dampak dari TV dilihat dari sifat-sifat
penyampaiannya, belum pada efek tayangan-tayangannya.
Efek
tayangan TV bisa jadi beragam. Terdapat pula pro kontra terhadap televisi.
Pendapat yang pro mengatakan bahwa TV dapat : 1) Mempercepat penyebaran
informasi, 2) Meningkatkan industri musik dan hiburan (production house), 3)
Memperluas wawasan yang tidak bisa diperoleh dari lingkungan sekitarnya, dan 4)
Memotivasi memperoleh pengetahuan. Sedangkan pendapat yang kontra mengatakan
bahwa TV dapat berdampak negatif dengan penayangan kekerasan, muatan seks yang
berlebihan, buaian iklan yang membentuk jiwa konsumtif, penciptaan stereotipe
tokoh yang ditayangkan, timbul ketakutan dan kerisauan, dan lain-lain.
Penelitian
Greenberg menyatakan bahwa ada empat alasan tertinggi mengapa masyarakat
melihat TV, yaitu : 1) Mengisi waktu luang, 2) Melupakan kesulitan, 3) Santai,
4) Sekadar kebiasaan. Selain itu, tampaknya budaya lisan yang mengakar dalam
tradisi bangsa ini juga mempunyai andil besar dalam mempengaruhi masyarakat
untuk lebih memilih media TV daripada media cetak seperti buku.
Buku
yang kaya akan kosa kata dan menggunakan hanya media visual diinterpretasi
sebagai hal yang kurang menarik sejak masa kanak-kanak. Berbicara mengenai
minat baca, tentu saja harus dirunut sejak awal, yaitu sejak usia anak-anak.
Dan tentunya peran orang tua sebagai pemegang kendali pengasuhan dan pembinaan
dalam rumah menjadi sangat dominan.
Karena
sifatnya yang visual dan tidak bergerak, buku dapat menciptakan interaksi yang
lebih hidup dalam alam pikiran pembaca. Pembaca diajak untuk aktif melalui
berpikir, dan hal ini akan mencetak individu yang kreatif, kritis, dan
evaluatif. Memang secara tampilan, bahan bacaan semisal buku tidak semenarik
televisi, namun efeknya, membaca merupakan gerbang menuju kekayaan imajinasi,
karena kemampuan memvisualisasikan kemungkinan-kemungkinan berdasarkan
kenyataan. Ini berhubungan juga dengan sisi kreatif. Sedangkan sisi kritis dan
evaluatif muncul saat seseorang membaca kisah-kisah dalam buku, imajinasinya
akan digunakan untuk mengevaluasi efektivitas sebuah rencana dengan
membayangkan hasil akhir yang mungkin.
Minat
baca anak menjadi terkikis. Anak akan merasa memiliki dunianya sendiri dengan
menonton TV, seakan-akan ia tidak memerlukan orang lain, dan sulit
mengungkapkan apa yang ada dalam pikirannya. Hal ini karena sel-sel otaknya
tidak terbiasa untuk berpikir kritis seperti halnya membaca buku.
Selain
itu, anak juga merasa memiliki kebebasannya melalui TV. Sebab, porsi tayangan
TV tidak menyebutkan garis-garis yang jelas antara segmen tontonan anak dan
orang dewasa. Terlebih, TV tidak pernah mensosialisasikan budaya baca sebagai
budaya yang juga perlu dikembangkan, semisal promosi buku melalui TV. (idb/mel)
No comments:
Post a Comment