Tuesday, 21 July 2015

Kenali Binge Eating Disorder




DIBANDINGKAN anoreksia dan bulimia, belum banyak orang yang mengenal binge eating disorder (BED). Namun, itu tidak berarti angka penderitanya tidak banyak.
’’Tren BED di dunia makin meningkat. Salah satu penelitian menyebutkan, satu di antara lima perempuan pasti pernah mengalami BED,’’ ungkap Dr Jeremy Alford, psikoterapis National Centre for Eating Disorder (NCFED) untuk Indonesia.
Bingeing adalah makan banyak dalam waktu singkat dengan kondisi tidak lapar. Hingga kini, belum ada penelitian maupun penemuan seputar penyebab pasti BED. Alford menjelaskan, BED berbeda dengan bulimia. Pada kasus ’’kalap’’ makan, penderita tidak akan memuntahkan makanan atau mengonsumsi obat pencahar.

’’Meski kelihatan sepele, banyak makan, BED bisa menimbulkan problem kesehatan,’’ lanjut pria yang berkantor di Bali tersebut. Dampak yang paling mudah dicermati adalah kenaikan berat badan. Jika asupan makanan tidak berkualitas, pengidap BED bahkan terancam mengidap penyakit serta kekurangan zat gizi.
Merujuk beberapa penelitian beberapa perguruan tinggi, angka penderita BED di Indonesia ternyata cukup tinggi. Setidaknya, satu di antara tiga responden pernah mengalami fase bingeing. Namun, belum diketahui pasti apakah ’’kalap’’ tersebut hanya berlangsung temporer atau dalam waktu cukup lama.
Gangguan pola makan itu bisa diderita siapa saja. ’’Kans perempuan dan laki-laki sama. Dari range usia, yang paling banyak menderita adalah usia 20–40 tahunan,’’ lanjut pria asal Timur Tengah tersebut. Remaja juga berisiko mengidap BED meski angka kejadiannya belum sebanyak pada dewasa muda.
Berbeda dengan mereka yang hobi makan atau kuliner, penderita BED memandang makanan sebagai pelarian. Suasana hati yang naik turun kerap jadi alasan para pengidap gangguan pola makan tersebut.
Akibatnya, emosi mereka dikendalikan makanan. Alford menegaskan, penderita BED punya pandangan bahwa dirinya akan ’’susah’’ jika tidak makan makanan tertentu.
Dari segi kejiwaan, bingeing dipandang sebagai salah satu gejala gangguan mood. ’’Gangguan makan masuk salah satu gejala sampingan depresi. Namun, bisa juga BED yang diidap seseorang murni menyerang kebiasaan makan saja,’’ ungkap dr Margarita M. Maramis SpKJ. Dia menyatakan, BED tergolong kebiasaan kompulsif yang serba tidak terkontrol dan berulang.
Meski doyan makan, penderita BED juga kerap dihantui perasaan tidak nyaman. Dokter yang akrab disapa Marga tersebut menjelaskan, proses bingeing diawali rasa tertekan. Kelegaan terasa saat mereka ’’kalap’’ makan. Setelah makan, mereka kembali dihantui rasa bersalah. Berusaha banyak makan merupakan reaksi penderita terhadap masalah yang tengah dialami.
’’Selesai makan, mereka merasa tidak nyaman. Mulai takut gemuk, tidak pede dengan penampilan, hingga rasa bersalah. Kalau tidak lekas ditangani, siklusnya mbalik lagi. Makan, bersalah, dan seterusnya,’’ tegas Marga. Merujuk beberapa penelitian, dia menjelaskan, BED berkaitan erat dengan kepribadian seseorang.
Mereka yang rendah diri, tertutup, sulit mengungkapkan perasaan, dan sulit menerima kenyataan rentan mengalami bingeing.
’’Simpanan’’ emosi negatif tersebut bisa jadi bom waktu. Dokter yang berpraktik di RSUD dr Soetomo itu mengungkapkan, kondisi tersebut membuat mood tidak baik. Demi mencari kenyamanan, mereka pun lari ke makanan. ((fam/c7/dos/jpnn/mel))


Cari Pelampiasan Positif

Meski tidak mematikan, binge eating disorder bisa mengurangi kualitas hidup seseorang. Perasaan tertekan hingga depresi kerap menghantui mereka yang mengidap BED. Karena itu, orang-orang terdekat penderita tidak boleh abai. ’’Berikan fasilitas yang membuat mereka nyaman, jangan beri judgment atau menyalahkan,’’ kata Marga.
Spesialis kesehatan jiwa lulusan Universitas Airlangga itu menyatakan, kebanyakan orang yang mengalami bingeing punya kesulitan dalam mengolah rasa dan pikirannya. Karena itu, penderita harus diajak berkomunikasi. Penting buat pengidap DED untuk tahu bahwa orang-orang terdekatnya masih memperhatikan dia.

’’Jika sulit mengungkapkan perasaan, lebih baik cari cara lain. Tidak harus ngomong,’’ lanjutnya. Sarana tersebut, antara lain, tulisan, gambar, musik, dan hobi. Penyaluran itu lebih aman ketimbang ’’lari’’ ke makanan. Plus, ajak penderita ke psikolog atau psikiater.
Menurut Marga, untuk menemui psikiater atau psikolog, tidak perlu menunggu BED parah dulu. ’’Mereka bisa memberi solusi sekaligus alternatif menyamankan diri buat penderita,’’ ucapnya. Sebab, jika telanjur mengalami kebiasaan BED yang kompulsif, mereka wajib menjalani terapi.
Terapi yang dilakukan menyasar dua aspek, yakni psikis dan fisik. Alford menjelaskan, ada dua jenis terapi yang umum diberikan pada pengidap BED. Yakni, cognitive behavior therapy (CBT) dan dietary counseling. Selain itu, sharing dengan sesama penderita bisa membantu meringankan kebiasaan ’’kalap’’.
’’CBT adalah terapi untuk mengubah pola pikir dan pandangan yang bisa memicu bingeing. Sedangkan konseling diet bertujuan memperbaiki pola makan,’’ lanjut Alford. Yang paling utama, tentu saja niat dan kemauan pengidap BED untuk berubah. ’’Makin kuat spiritmereka, makin cepat penyembuhan,’’ tuturnya. (fam/c7/dos/jpnn/mel)

 

No comments:

Post a Comment