DIBANDINGKAN anoreksia dan bulimia, belum banyak orang yang
mengenal binge eating disorder (BED). Namun, itu tidak berarti angka
penderitanya tidak banyak.
’’Tren BED di dunia makin meningkat. Salah satu penelitian
menyebutkan, satu di antara lima perempuan pasti pernah mengalami BED,’’ ungkap
Dr Jeremy Alford, psikoterapis National Centre for Eating Disorder (NCFED)
untuk Indonesia.
Bingeing adalah makan banyak dalam waktu singkat dengan
kondisi tidak lapar. Hingga kini, belum ada penelitian maupun penemuan seputar
penyebab pasti BED. Alford menjelaskan, BED berbeda dengan bulimia. Pada kasus
’’kalap’’ makan, penderita tidak akan memuntahkan makanan atau mengonsumsi obat
pencahar.
’’Meski kelihatan sepele, banyak makan, BED bisa menimbulkan
problem kesehatan,’’ lanjut pria yang berkantor di Bali tersebut. Dampak yang
paling mudah dicermati adalah kenaikan berat badan. Jika asupan makanan tidak
berkualitas, pengidap BED bahkan terancam mengidap penyakit serta kekurangan
zat gizi.
Merujuk beberapa penelitian beberapa perguruan tinggi, angka
penderita BED di Indonesia ternyata cukup tinggi. Setidaknya, satu di antara
tiga responden pernah mengalami fase bingeing. Namun, belum diketahui pasti
apakah ’’kalap’’ tersebut hanya berlangsung temporer atau dalam waktu cukup
lama.
Gangguan pola makan itu bisa diderita siapa saja. ’’Kans
perempuan dan laki-laki sama. Dari range usia, yang paling banyak menderita
adalah usia 20–40 tahunan,’’ lanjut pria asal Timur Tengah tersebut. Remaja
juga berisiko mengidap BED meski angka kejadiannya belum sebanyak pada dewasa
muda.
Berbeda dengan mereka yang hobi makan atau kuliner,
penderita BED memandang makanan sebagai pelarian. Suasana hati yang naik turun
kerap jadi alasan para pengidap gangguan pola makan tersebut.
Akibatnya, emosi mereka dikendalikan makanan. Alford
menegaskan, penderita BED punya pandangan bahwa dirinya akan ’’susah’’ jika
tidak makan makanan tertentu.
Dari segi kejiwaan, bingeing dipandang sebagai salah satu
gejala gangguan mood. ’’Gangguan makan masuk salah satu gejala sampingan
depresi. Namun, bisa juga BED yang diidap seseorang murni menyerang kebiasaan
makan saja,’’ ungkap dr Margarita M. Maramis SpKJ. Dia menyatakan, BED
tergolong kebiasaan kompulsif yang serba tidak terkontrol dan berulang.
Meski doyan makan, penderita BED juga kerap dihantui
perasaan tidak nyaman. Dokter yang akrab disapa Marga tersebut menjelaskan,
proses bingeing diawali rasa tertekan. Kelegaan terasa saat mereka ’’kalap’’
makan. Setelah makan, mereka kembali dihantui rasa bersalah. Berusaha banyak
makan merupakan reaksi penderita terhadap masalah yang tengah dialami.
’’Selesai makan, mereka merasa tidak nyaman. Mulai takut
gemuk, tidak pede dengan penampilan, hingga rasa bersalah. Kalau tidak lekas
ditangani, siklusnya mbalik lagi. Makan, bersalah, dan seterusnya,’’ tegas
Marga. Merujuk beberapa penelitian, dia menjelaskan, BED berkaitan erat dengan
kepribadian seseorang.
Mereka yang rendah diri, tertutup, sulit mengungkapkan
perasaan, dan sulit menerima kenyataan rentan mengalami bingeing.
’’Simpanan’’ emosi negatif tersebut bisa jadi bom waktu.
Dokter yang berpraktik di RSUD dr Soetomo itu mengungkapkan, kondisi tersebut
membuat mood tidak baik. Demi mencari kenyamanan, mereka pun lari ke makanan.
((fam/c7/dos/jpnn/mel))
Cari Pelampiasan
Positif
Meski tidak mematikan, binge eating disorder bisa mengurangi
kualitas hidup seseorang. Perasaan tertekan hingga depresi kerap menghantui
mereka yang mengidap BED. Karena itu, orang-orang terdekat penderita tidak
boleh abai. ’’Berikan fasilitas yang membuat mereka nyaman, jangan beri
judgment atau menyalahkan,’’ kata Marga.
Spesialis kesehatan jiwa lulusan Universitas Airlangga itu
menyatakan, kebanyakan orang yang mengalami bingeing punya kesulitan dalam
mengolah rasa dan pikirannya. Karena itu, penderita harus diajak berkomunikasi.
Penting buat pengidap DED untuk tahu bahwa orang-orang terdekatnya masih
memperhatikan dia.
’’Jika sulit mengungkapkan perasaan, lebih baik cari cara
lain. Tidak harus ngomong,’’ lanjutnya. Sarana tersebut, antara lain, tulisan, gambar,
musik, dan hobi. Penyaluran itu lebih aman ketimbang ’’lari’’ ke makanan. Plus,
ajak penderita ke psikolog atau psikiater.
Menurut Marga, untuk menemui psikiater atau psikolog, tidak
perlu menunggu BED parah dulu. ’’Mereka bisa memberi solusi sekaligus
alternatif menyamankan diri buat penderita,’’ ucapnya. Sebab, jika telanjur
mengalami kebiasaan BED yang kompulsif, mereka wajib menjalani terapi.
Terapi yang dilakukan menyasar dua aspek, yakni psikis dan
fisik. Alford menjelaskan, ada dua jenis terapi yang umum diberikan pada
pengidap BED. Yakni, cognitive behavior therapy (CBT) dan dietary counseling.
Selain itu, sharing dengan sesama penderita bisa membantu meringankan kebiasaan
’’kalap’’.
’’CBT adalah terapi untuk mengubah pola pikir dan pandangan
yang bisa memicu bingeing. Sedangkan konseling diet bertujuan memperbaiki pola
makan,’’ lanjut Alford. Yang paling utama, tentu saja niat dan kemauan pengidap
BED untuk berubah. ’’Makin kuat spiritmereka, makin cepat penyembuhan,’’
tuturnya. (fam/c7/dos/jpnn/mel)
No comments:
Post a Comment