FAKTOR rhesus sangat penting
diperhatikan dalam kehamilan. Ada beberapa risiko yang seharusnya bisa dicegah
akibat (ketidakcocokan) rhesus antara ibu dan janin. Teramat penting untuk
mengetahui jenis rhesus kita, terutama perempuan.
Perempuan dengan rhesus negatif
yang bersuami rhesus positif akan memiliki kemungkinan mengandung janin dengan
rhesus positif. Ketidakcocokan rhesus antara ibu dan bayi bisa menjadi faktor
risiko yang membahayakan bayi.
“Tubuh ibu yang mempunyai rhesus
negatif akan menganggap janin sebagai ‘benda asing’ dan bakal melawan,” jelas dokter
Erva Anggriana.
Terdapat kemungkinan darah janin
yang mengandung rhesus positif memasuki sirkulasi darah ibu yang memiliki
rhesus negatif. Hal tersebut bisa memicu terbentuknya antibodi dalam tubuh ibu
untuk melindungi tubuh sekaligus melawan janin.
Antibodi tersebut kemudian
mengalir ke sirkulasi darah janin dan menghancurkan sel darah merah janin
(hemolitik). Kondisi itu
dapat mengakibatkan kematian janin dalam rahim. Atau, janin yang lahir akan
menderita pembengkakan hati, anemia, kuning (jaundice), dan gagal jantung.
Namun, tidak berarti kehamilan
perempuan dengan rhesus negatif pasti bermasalah. Selama ini kerap muncul
persepsi yang keliru mengenai rhesus negatif.
Intinya, setiap kehamilan
memiliki faktor risiko. Pada perempuan dengan rhesus negatif, diperlukan perencanaan
dan persiapan khusus. Salah satunya, cek titer antibodi anti Rh (d) pada usia
kehamilan 12 minggu atau yang disebut coombs test. Jika hasilnya negatif, darah
ibu dengan Rh- tersebut aman bagi janin dengan Rh+.
Namun, apabila dari hasil tes
ditemukan adanya titer antibodi dan angkanya tinggi, segera konsultasikan
dengan dokter ahli darah maupun kandungan untuk mendapat pengawasan terhadap
tumbuh kembang janin.
“Dokter akan memberikan suntikan
anti Rh (d) immunoglobulins pada minggu ke-28 usia kehamilan dan maksimal dalam
72 jam setelah melahirkan,” paparnya.
Perbedaan rhesus antara ibu dan
janin biasanya tidak terlalu berisiko pada kehamilan pertama. Sebab,
kemungkinan terbentuknya zat antirhesus atau antibodi pada kelahiran pertama
sangat kecil.
“Kalaupun ada, jumlahnya tidak
banyak sehingga anak pertama bisa lahir dengan sehat,” tuturnya.
Pembentukan zat antirhesus
biasanya baru terjadi pada proses persalinan (atau keguguran) kehamilan pertama. Saat plasenta lepas, pembuluh
darah yang menghubungkan dinding rahim dengan plasenta juga putus.
“Sel-sel darah merah bayi dapat
masuk ke dalam dengan jumlah yang lebih besar,” ujarnya.
Setelah itu, 48-72 jam setelah
persalinan, tubuh ibu kembali memproduksi zat antibodi atau antirhesus dalam
jumlah yang lebih banyak. Ketika kemudian ibu hamil untuk kali kedua,
zat antibodi tersebut bakal menyerang sel darah merah janin.
Kondisi itu akan semakin
berbahaya apabila kadar antibodi sangat tinggi. Tumbuh kembang janin harus dipantau
dengan ketat, apakah terindikasi adanya masalah pada pernapasan dan peredaran
darah, cairan paru-paru, atau pembesaran hati.
Dokter bisa memutuskan untuk
melakukan persalinan dini ketika usia janin sudah cukup kuat untuk dilahirkan. Karena
itu, sebagai tindakan pencegahan, pada kehamilan kedua, sang ibu diberi
suntikan anti Rh (d) immunoglobulins pada usia kehamilan minggu ke-28.
Apabila fondasi sudah baik dan
kehamilan terus dipantau dengan cermat, janin akan baik-baik saja hingga lahir.(*/rio/asa)
No comments:
Post a Comment